Catatan Fakhruddin Halim
Artikel Ketua PWI Kabupaten Bangka Tengah, M Tamimi dengan judul “Kursi Panas Ketua PWI Babel” yang dimuat di Rakyatpos.com, Sabtu, Maret 2022, patut diapresiasi dan ditanggapi.
Paling tidak sebagai bentuk kepedulian dan urun rembuk menjelang Konferensi VI PWI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang akan digelar pada, Senin, 28 Maret 2022.
Pertama terkait terminologi kursi “panas” kurang tepat. Sebab, justru tidak panas, bahkan sangat dingin atau adem. Kalau pun barangkali ada yang merasa “kepanasan” tentu harus ditafsirkan sebagai bentuk kepeduliannya pada PWI Babel.
Dan harus pula dimaklumi, sebagai organisasi profesi wartawan yang besar dan moderen, tentu banyak pihak yang memberikan perhatian dan harapan.
Memang benar sejumlah nama belakangan mencuat menyatakan bakal maju mencalonkan diri sebagai Ketua PWI Babel seperti incumbent M Fathurrakhman yang akrab disapa Boy, Rudi Syahwani yang kini sebagai Ketua SIWO PWI Babel dan penulis sendiri yang lima tahun terakhir diamanahi sebagai Wakil Sekretaris PWI Babel.
Proses pemilihan seperti ini sebenarnya adalah bagian dari dinamika organisasi dan biasa saja. Apalagi memang sudah diatur dalam PD/PRT PWI.
Kalau pun memang peluang itu terbuka, juga tidak salah kalau ketiganya berkompetisi secara sehat. Sebab, kompetisi ini tidak lebih dari proses pengujian, adu gagasan dan adu siapa yang mau dan sanggup mengemban amanah lima tahun kedepan.
Selain itu, saya sangat yakin semangat yang diusung adalah semangat ingin PWI Babel semakin maju dan berkembang.
Selama ini roda organisasi berjalan dengan sangat baik. Sejumlah program pun dapat dilaksanakan dan dirasakan manfaatnya bagi anggota. Hal ini adalah fakta yang tidak terbantahkan.
Contohnya saja bagaimana peningkatan kompetensi anggota dengan program Uji Kompetensi Wartawan (UKW), sejumlah program sosial, merenovasi kesekretariatan dan pembentukan PWI Kabupaten Bangka Barat, Bangka Tengah, Bangka Selatan, Bangka dan Belitung.
Tinggal PWI Kabupaten Belitung Timur yang sebenarnya tinggal menunggu waktu saja.
Tentu saja ini adalah sedikit yang bisa disebutkan. Ruh atau semangat kebaikan inilah yang harus menjadi semangat bagi yang ingin berkompetisi menjadi Ketua PWI Babel, kedepan.
Semangat membangun kebaikan ini tentu saja membutuhkan keseriusan dan kerja keras. Jadi bukan hanya sekedar memanfaatkan peluang atau sekedar ingin maju namun kering akan gagasan bagi PWI Babel lima tahun kedepan.
Selama lima tahun terakhir loyalitas terhadap organisasi dan keberpihakan kepada anggota tentunya sudah bisa kita ukur atau kita nilai.
Mana yang benar-benar ada bersama PWI Babel dalam situasi dan kondisi sesulit apapun, mana yang hanya ingin atau baru akan berbuat.
Sebab, PWI Babel sendiri sudah melangkah jauh. Setiap tahapan program dilalui dengan berbagai perjuangan dan pengorbanan. Dan itu terlaksana dengan baik.
Hal ini penting sebagai bahan perenungan bersama. Apa sebenarnya yang kita inginkan dan apa yang sudah kita perbuat untuk kemajuan PWI Babel selama ini?
Jangan sampai kita hanya “berhalusinasi” sehingga begitu bersemangat ingin ikut berkompetisi tanpa merenung dan bertanya kepada hati nurani kita masing-masing.
Jangan sampai tidak mengukur “baju” di badan alias kering dengan program-program unggulan untuk PWI Babel.
Apalagi kalau sampai ada yang punya semangat lain, bukan semangat untuk membangun PWI Babel kedepan atau melanjutkan sejumlah program yang sudah berjalan dengan baik selama ini, sangat disayangkan.
Atau malah tidak punya semangat untuk semakin mesolidkan barisan PWI agar gerak organisasi semakin dinamis. Tentu kalau ada, sekali lagi sangat kita sayangkan. Namun penulis sangat yakin tak ada yang punya semangat destruktif seperti itu.
Kita patut berkaca pada sejumlah organisasi yang ketika proses pemilihan begitu bersemangat ikut dan bisa saja tercapai.
Tapi apa lacur, begitu sudah menduduki kursi kepemimpinan justru tak lagi jelas warna organisasi. Bahkan bukannya tambah baik, tapi sebaliknya. Organisasi makin kerdil dan seperti kehilangan jati diri.
Tak sedikit pula karena lemahnya kepemimpinan, sekedar untuk berjalan saja organisasi menjadi terseok atau malah mati suri.
Tentu kita tidak ingin PWI Babel menjadi seperti ini. Kita ingin kedepan PWI Babel makin moncer dengan sejumlah program unggulan yang dapat dirasakan seluruh anggota dan berdampak baik pula bagi masyarakat luas.
Selain program agar anggota makin profesional dan kompeten yang selama ini sudah bergulir, harus pula ditelorkan program kesejahteraan bagi anggota. Untuk itu kita butuh pemimpin yang sanggup bekerja keras.
Memang, selain ketiga bakal calon yang disebutkan di atas sejumlah nama “bisik-bisik” warung kopi mencoba menggalang dukungan untuk maju.
Saya yakin niatnya cukup baik. Tapi perlu diketahui niat saja tidak cukup. Butuh energi dan buah pemikiran orisinil untuk kemajuan organisasi.
Apalagi kalau sampai “diboncengi” kepentingan pragmatisme yang tidak ada hubungannya dengan PWI Babel. Tentu sangat kita sayangkan. Tapi penulis yakin hal ini tidak ada.
PWI sendiri memiliki sejarah panjang. Dibangun oleh para pendiri bangsa ini pula. Dan bertahan hingga hari ini sebagai organisasi profesi wartawan paling senior.
Sejumlah wartawan senior dan wartawan ternama menjadi anggotanya. Tentu kiprah mereka ikut mewarnai perjalanan PWI Babel khususnya.
Kembali ke pelaksanaan Konferprov VI. Pengurus provinsi dan panitia saat ini sedang bekerja keras mempersiapkan segala sesuatunya agar dapat berjalan dengan lancar. Hal ini harus didukung semua pihak.
Termasuk para bakal kandidat yang disebutkan di atas justru kini tengah sibuk memikirkan dan bekerja agar event lima tahunan ini terlaksana dengan sukses.
Kita juga patut mengapresiasi seluruh pengurus provinsi, kabupaten, anggota dan khususnya para panitia yang kini tengah mencurahkan energinya untuk suksesnya Konferprov VI. Sebab, di saat seperti ini dibutuhkan kekompakan dalam melakukan kerja bersama.
Siapa saja nanti yang terpilih tentu ada amanah di pundaknya yang tidak ringan. Sebab, perjalanan PWI Babel lima tahun kedepan sedang dipertaruhkan. (*)