Oleh : Luna Febriani (Akademisi UBB)
Apa yang dilakukan oleh Susanti yang telah melaporkan langsung kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada dirinya patutnya di apresiasi.
Mengingat tidak semua perempuan yang menjadi korban kekerasan terutama kekerasan dalam ranah privasi dan rumah tangga mampu melaporkan kejadian kekerasan yang menimpanya.
Ada beberapa alasan yang membuat korban tidak mampu dan tidak mau melaporkan kejadian kekerasan dalam ranah privasi dan rumah tangga ini, pertama, biasanya perempuan yang mengalami kekerasan dalam ranah rumah tangga dan keluarga akan mengalami banyak ketakutan untuk melaporkan tindakan kekerasan yang terhadap mereka mengingat yang menjadi pelaku kekerasan biasanya orang yang memiliki relasi kuasa yang lebih tinggi dalam keluarga.
Ketakutan yang biasanya hinggap dalam korban (terutama perempuan) adalah ketakutan akan terjadi lagi ancaman bahkan kekerasan tersebut pasca korban melakukan pelaporan terhadap kasus kekerasan tersebut, baik ke orang terdekat maupun pihak yang berwenang.
Ketakutan ini tidak luput dari ikatan yang ada antar korban dan pelaku dan kondisi tinggal bersama yang mau tak mau akan tetap terjalin interaksi pada mereka, maka jaminan perlindungan bagi korban menjadi keharusan ketika korban telah melaporkan kejadian kekerasan terutama dari pihak yang berwenang.
Alasan lainnya yang membuat korban melaporkan kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa mereka adalah alasan yang berkaitan dengan nilai dan persepsi dalam masayarakat kita, yakni alasan malu dan aib ketika melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari persepsi masyarakat kita yang masih banyak menganggap bahwa persoalan rumah tangga tidak boleh diumbar -umbar ke public apalagi pihak berwajib. Selain itu, persoalan kekerasan dalam rumah tangga masih sering dilegalisasi dengan nilai-nilai agama yang tidak dipahami secara utuh tentang mendidik istri.
Dengan kata lain, ketika melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan adanya persepsi seperti ini yang terjadi justru korban kekerasan akan dianggap membongkar masalah keluarga dan sebagai istri yang tidak patuh terhadap suami.
Lagi-lagi, korban mengalami beban double; korban kekerasan dan korban sanksi sosial. Alih-ali melapor, korban akan memilih mendiamkan kasus ini daripada menimbulkan banyak hal lain dalam masyarakat.
Padahal, ketika perempuan sudah melapor kekerasan yang menimpa diri mereka merupakan tindakan heroik, setidaknya dia telah menyelamatkan nyawa diri dia sendiri dan membantu memutus rantai kekerasan terhadap perempuan di tengah-tengah masyarakat.
Karena, ketika mendiamkan kasus kekerasan yang terjadi, maka tidak menutup kemungkinan kekerasan itu akan berulang kembali dan dampak terburuk akan menyebabkan kematian. Susanti seperti yang dikabarkan sebelumnya mengalami kekerasan dengan cara dijambak, diseret hingga dicekik oleh suaminya sendiri ini telah melakukan upaya untuk memutus rantai kekerasan terhadap perempuan dengan cara melaporkan kasus tersebut ke pihak yang berwenang.
Namun, dari informasi yang didapat, sudah lebih dari 60 hari Susanti tidak menemui kejelasan terkait laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga ini. Padahal, aturan berkenaan dengan kekerasan dalam rumah tangga yakni UU no. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga mengatur secara komprehensif tentang hak-hak korban, perlindungan, pemulihan hingga ketentuan pidana terkait kasus KDRT.
Ketidakjelasan atas laporan kasus kekerasan yang menimpa Susanti ini, mau tidak mau nantinya dapat berdampak pada kekecewaan dalam diri Susanti sebagai korban maupun sebagai masyarakat hingga berdampak pada ketidakpercayaan terhadap system dan institusi yang berwenang dalam menangani kasus KDRT ini.
Dan, pengalaman atas ketidakjelasan serta kekecewaan korban ini dapat membawa efek domino bagi korban dan menambah panjang alasan korban perempuan lainnya untuk tidak melapor ketika terjadi kekerasan terhadap mereka.
Karena korban akan menanggap adalah sia-sia dan buang-buang waktu saja melaporkan KDRT berdasarkan pengalaman korban yang ada sebelumnya. Padahal, jika tidak dilaporkan, kasus KDRT akan terus terjadi dan terulang kembali. Karena, menurut Komnas Perempuan, kekerasan itu akan terus berputar seperti siklus, yang mana siklusnya; kondisi tanpa kekerasan- kondisi ketegangan yang ditandai perselisihan- kondisi ledakan kekerasan- kondisi rekonsiliasi atau bulan madu yang ditandai ketika pelaku meminta maaf.
Setelah pelaku minta maaf, maka tidak menutup kemungkinan akan kembali ke kondisi sebelumnya dan mengulang kekerasan kembali. Oleh karena itu, perlu keseriusan dalam menangani kasus KDRT ini selain untuk memutus rantai kekerasan seksual dalam masyarakat dan negara juga untuk penegakkan hukum yang ada. (**)