2
2
Merawat Tradisi Melayu Melalui Tenun Cual Bangka (bagian-1)

Merawat Tradisi Melayu Melalui Tenun Cual Bangka (bagian-1)

BERBAGI

Catatan Keluarga Maslina Yazid

(Penenun Cual) 

BERDASARKAN buku Karangan Raden Ahmad yang berjudul “Riwayat Pulau Bangka Tahun 1934”, diketahui bahwa tenun cual merupakan satu dari sekian banyak warisan teknik pembuatan dan ragam hias kain tenun yang dimiliki bangsa Indonesia.

Tenun cual asal Bangka tak lepas dari perjalanan sejarah yang panjang. Bermula dari berdirinya Kota Muntok di pesisir barat Pulau Bangka.

Perkembangan keterampilan menenun cual di Muntok diawali dengan kepindahan seorang putri dari kerajaan Siantan Pulau Natuna (Kepulauan Riau) bernama Zamnah ke sebuah tanjung di dekat Gunung Menumbing sebagai tempat menetap.

Tanjung tersebut kemudian diberi nama Tanjung Kelian. Zamnah beserta keluarga yang tersisa di Siantan pun pindah ke daerah itu yang kemudian dikenal sebagai Kota Muntok.

Kepindahan orang-orang Melayu tersebut turut membawa keterampilan menenun menggunakan alat tenun tradisional bernama gedokan. Kain adat yang dihasilkan kemudian disebut tenun cual.

Menenun cual pun menjadi aktivitas perempuan-perempuan di Muntok abad ke-18. Mereka berkumpul di satu komunitas penenun kemudian diberi nama Kampung Petenon yang kini berlokasi di Kecamatan Teluk Rubiah. Komunitas ini semakin berkembang ke beberapa daerah di sekitar Muntok.

Pada masa itu tenun cual merupakan paten keluarga kerajaan. Mulai dari penenun hingga pemakai cual tertutup hanya untuk keturunan raja. Menurut cerita Ibu Rodia, warga Kecamatan Teluk Rubiah dan keturunan penenun, gedokan (alat tenun) diletakkan di atas rumah panggung. Mereka menenun setelah mereka selesai mengerjakan pekerjaan rumah.

Baca Juga  Lolos Seleksi Lomba PPD Tahap II, Pangkalpinang Bersiap Mengikuti Tahap Selanjutnya

Tradisi itu menggambarkan bahwa penghuni rumah tersebut merupakan seorang putri yang rajin.

Sedangkan menurut cerita mendiang Cik Ibu seorang penenun, zaman silam dikenal dengan tradisi dimana tiap perempuan dipingit oleh orang tuanya. Untuk melengkapi kegiatan sehari-hari merekapun menenun.

Aktivitas menenun menghasilkan bunyi yang halus. Seseorang yang mendengar bunyi tersebut otomatis mengetahui bahwa di rumah tersebut ada penenun yang biasanya seorang putri dari keluarga bangsawan, bukan orang sembarangan.

Memiliki keahlian menenun kala itu membuat seseorang mendapatkan jodohnya. Dengan sendirinya keluarga dari pihak laki-laki akan datang untuk melamar setelah melakukan proses pengenalan. Selanjutnya hasil dari kain tenunannya digunakan untuk busana pengantinnya sendiri.

Atau apabila seorang penenunnya merupakan seorang ibu yang memiliki anak laki-laki, maka hasil dari kain tenunannya itu digunakan sebagai mahar dan hantaran pengantin bagi anak laki-lakinya.

Senada dengan cerita tersebut, Yan Megawandi, berpendapat bahwa pada zaman silam menenun merupakan proses pendewasaan dan kematangan bagi seorang perempuan sebelum ia menikah.

Penggunaan cual pun tak sembarang, ada cara-cara tertentu.

Dahulu seorang perempuan yang belum menikah diharuskan memakai selendang cual di bahu sebelah kiri dan kain dengan belah lipatan di sebelah kiri. Sebaliknya seorang laki- laki yang belum menikah mengenakan kain dengan belah lipatan kain di sebelah kanan.

Seorang perempuan yang telah menikah memakai selendang cual di bahu sebelah kanan dan kain dengan belah lipatan di sebelah kanan. Sebaliknya seorang laki-laki yang telah menikah mengenakan kain dengan belah lipatan di sebelah kiri.

Baca Juga  Ketua PWI Babel : Mangrove Babel Masa Depan Dunia

Biasanya cual dikenakan saat perayaan hari besar Islam, sebagai busana pengantin dan hantaran serta busana kebesaran lingkungan bangsawan Muntok.

Pada masa kemimpinan Demang Abang Muhammad Ali kondisi perekonomian Muntok relatif stabil dan aman. Kala itu merupakan masa klimaks produktivitas tenun cual. Tenun cual banyak diminati oleh berbagai kalangan sehingga diproduksi secara komersil dan menjadi bagian dari mata pencaharian penduduk Muntok.

Peminat tenun cual tidak hanya berasal dari Pulau Bangka Belitung saja tapi juga dari Sumatera Selatan, Pontianak, Singapura dan daerah berbudaya melayu lainnya. Hal ini menyebabkan tenun cual menyebar ke kalangan luar bangsawan Muntok.

Mereka berpendapat bahwa tenun cual patut dipunyai dan dikoleksi karena tekstur kain cual yang halus, kombinasi warna yang tak berubah dan bentuk motifnya yang seakan timbul. Ini memungkinkan cual dipelajari dan ditenun oleh daerah lain.

Tahun 1914-1918 terjadi perang besar melanda Eropa, yang turut berimbas pada  kestabilan perekonomian dunia. Benang sutera, benang emas, dan bahan baku lainnya mengalami kenaikan harga dan kelangkaan.

Hampir tidak ada jualnya baik di Muntok maupun di Singapura. Produksi tenun cual terpaksa terhenti. Sedangkan kesulitan bahan baku juga dialami oleh beberapa daerah sentra kerajinan tenun adat/tradisional lainnya seperti di Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Malaysia.

Baca Juga  STIE - STIH Pertiba Jadi Universitas, Naziarto: Akan Banyak SDM Cerdas Membangun Babel

Sementara itu sebagai alternatif, di Muntok beberapa orang penenun mencoba menggunakan bahan baku seadanya. Mereka mencabuti benang emas dari tenun cual yang telah rapuh, menggunakan benang katun dan serat nenas sebagai pengganti benang sutera untuk menenun.

Kondisi ini tidak berlangsung lama seiring perekonomian Muntok yang kian membaik. Sebab masyarakat Muntok telah mengenal perkebunan lada dan karet serta Tambang Inkonvensional timah.

Pernah terjadi kebakaran besar melanda daerah Muntok di sebelah laut, bernama Kampung Bujan. Ratusan rumah penduduk musnah. Kebakaran ini turut menghanguskan puluhan peralatan dan tenun cual. Masuknya tekstil dari berbagai daerah menjadi pelengkap orang-orang Muntok tak lagi menenun cual.

Beberapa orang tertentu pemilik tenun cual menyimpan kainnya di dalam peti berukir. Tenun cual yang tersimpan di dalam peti berukir itu dikenal dengan istilah penunggu peti. Sementara itu orang-orang Muntok keturunan bangsawan mulai membawa tenun cual mereka menyebar ke beberapa daerah di sekitar Bangka Barat.

Bukti dari penyebaran tenun cual tersebut adalah dengan ditemukannya kembali tenun cual klasik sejak tahun 1950-an di beberapa daerah, seperti Tempilang, Nangka, Air Gegas, Ranges, Jade Sempan, Riding Panjang, Jelutung, Belitung dan Palembang. Sebagian tenun cual klasik tersebut masih disimpan di dalam peti berukir sebagai Pusake Lame oleh ahli warisnya. (bersambung)

LEAVE A REPLY