Presiden Joko Widodo angkat bicara soal rencana pelarangan ekspor timah balok atau tin ingot dan tentang hilirisasi timah.
Kepada wartawan usai meninjau pembangunan Top Submerged Lance Ausmelt yang dikerjakan oleh PT Timah Tbk di Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Kamis (20/10/2022), Jokowi mengungkapkan belum bisa memastikan kapan waktu pelarangan ekspor timah mentah itu dimulai.
Presiden beralasan lantaran hingga kini pemerintah baru akan mengkalkulasikan semuanya agar nantinya berjalan dengan baik, dan tidak ada yang dirugikan.
Meski demikian Jokowi memastikan ekspor bahan mentah itu memang harus segera dihentikan, dan akan dialihkan ke industrial downstreaming.
“Semuanya masuk ke hilirisasi ya, karena nilai tambahnya ada di situ, added value-nya ada di situ,” ujar Presiden dikutip dari suarabangka.com, Kamis (20/10/2022)
Kunjungannya ke smelter ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam hal hilirisasi timah.
Soal rencana pelarangan ekspor timah atau tin ingot memang belakangan menjadi polemik dan menimbulkan berbagai spekulasi. Sebab, publik masih meraba-raba. Belum jelas seperti apa konsepnya.
Alasan yang ditangkap oleh publik untuk hilirisasi adalah larangan ekspor timah dikawinkan dengan hilirisasi. Hari ini pun sebenarnya jika memang benar mau diberlakukan pelarangan ekspor timah bisa saja dilakukan. Tapi persoalannya apakah sudah dihitung dampaknya?
Yang pasti industri peleburan timah dalam negeri sebagian besar bisa kolaps. Jika kolaps pasir timah yang dihasilkan dari pertambangan rakyat siapa yang beli?
Padahal pertambangan timah ini melibatlan ratusan ribu rakyat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Masyarakat ini menggantungkan hidupnya baik langsung atau pun tidak langsung dari bisnis pertambangan timah.
Ini soal kemanusiaan. Maka sudah sangat bijak apa yang disampaikan Presiden. Yang seharusnya mudah diterjemahkan atau ditafsirkan dan dipahami bahwa belum akan memberlakukan larangan ekspor timah lantaran masih harus dikalkukasikan dampaknya.
Memang terjadi pro kontra, ada yang minta stop ekspor timah dan fokus hilirisasi, ada pula yang setuju hilirisasi tapi ekspor tetap jalan sampai pabrik yang akan memproduksinya dan tataniaga produk hilirisasi siap.
Masuk akal, sebab kesiapan pasar yang akan menampung produk hilirisasi penting dipikirkan. Sebab, percuma saja hilirisasi tapi hasil produksi hilirisasi timah tidak terserap pasar.
Ada yang menilai tepat jika hilirisasi tetap dipersiapkan atau diproses hingga benar-benar siap dijalankan secara total. Sebagaimana yang dilakukan PT Timah Tbk dengan membangun Top Submerge Lance (TSL) Ausmelt Furnace PT TIMAH Tbk di Kawasan Unit Metalurgi, Muntok.
Kita tentu saja bersepakat tentang pentingnya hilirisai timah. Namun, hilirisasi dan larangan ekspor timah adalah dua hal yang berbeda.
Dikutip dari databoks.katadata.co.id, Kamis (20/10/2022), berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor Indonesia tumbuh 11,11% menjadi 42,57 ribu ton sepanjang periode Januari-Juli 2022 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (cumulative to cumulative/c-to-c).
Artinya volumenya cukup besar. Nah apakah kapasitas industri pengolahan hilir dalam negeri nantinya bisa mengolah jumlah sebesar itu?
Jika tidak, bisa dipastikan industri pertambangan timah akan sempoyongan bahkan bisa mati. Jika pertambangan timah mati, rakyat yang selama ini secara langsung maupun tak langsung menggantungkan hidupnya dari sektor pertambangan timah yang pertama terkena dampaknya.
Belum lagi situasi ekonomi global saat ini sedang tidak baik. Sejumlah negara mengalami resesi. Ancaman krisis pangan terus membayangi dunia termasuk negeri ini.
Padahal kapasitas produksi sangat ditentukan oleh faktor permintaan atau supplay and demand. Sejauh mana kesiapan produk hilirisasi bisa diterima dan diserap dengan baik oleh pasar belum terukur.
Ucapan presiden patut diapresiasi. Saatnya fokus pada pembenahan tataniaga timah, mempersiapkan segala hal termasuk pasar yang akan menyerap produk hilirisasi juga tak kalah pentingnya. Mari mulai menghitung angka-angka. (*)