Catatan Fakhruddin Halim
Sabtu, 12 Februari 2022
Wartawan tidak boleh salah. Saya pernah mendengar kata-kata ini. Tapi lupa siapa yang menyampaikannya. Yang pasti, kata-kata itu melekat kuat dalam ingatan.
Tapi benar juga, sebab sedikit saja berbuat kesalahan -meski tidak sengaja, efeknya besar. Bisa menimbulkan celaka.
Tak main-main ini serius. Saya sendiri pernah beberapa kali mengalami. Tak hanya saya, barangkali sejumlah wartawan dan media besar pun pernah diprotes hanya perkara satu hurup.
Pagi saya sudah di kantor, sebelum redaktur dan wartawan lainnya datang untuk rapat pagi.
Bahkan terkadang office boy terpaksa meminta izin untuk membersihkan ruangan. Barangkali sungkan karena sudah di ruangan sementara belum dibersihkan.
Selain kebiasaan, saya memang tidak ingin setengah hati. Selalu ingin totalitas terhadap pekerjaan yang menjadi pilihan. Selain itu, tentu saja jika telat meski satu menit, kartu absen yang dimasukkan ke alat seperti pemanggang roti otomatis itu akan merah.
Jika merah, uang makan hari itu dipotong. Ini rasanya sangat tidak enak dan sering membuat gaduh para wartawan Harian Metro Bangka Belitung.
Mereka berdalih wartawan tidak bisa diatur kerjanya layaknya divisi sirkulasi, administrasi, keuangan, iklan atau divisi lainnya.
“Masa kita harus pakai ngabsen pagi, dan absen sore? Telat semenit uang makan dipotong?” begini protes yang sering saya dengar.
Padahal, kata mereka, kerja wartawan itu 24 jam. Terkadang Subuh sudah ke pasar, liputan. Malam, terkadang masih di lapangan harus liputan.
“Kalau pakai diatur kayak orang kantoran, lebih baik kita sekalian saja pakai dasi dan jas,” terdengar ada yang menggerutu.
Memang tak seberapa, uang makan itu perharinya awalnya Rp10.000,- dibayarkan setiap akhir bulan, setelah diprotes dibayar setiap akhir pekan. Setelah itu terus naik karena penyesuain, tolak ukurnya satu bungkus nasi padang.
Untuk jajaran redaktur dan wartawan yang piket malam dapat jatah tambahan. Setiap malam dapat jatah makan dari anggaran redaksi.
Barangkali itu pula mengapa sejumlah redaktur, sejak Tabloid Metro Bangka Belitung yang awalnya terbit Bulanan, lalu dwi mingguan, lalu mingguan, berubah menjadi Harian Metro Bangka Belitung, banyak bobot tubuhnya yang naik.
Pagi itu, saya datang seperti biasa, bahkan lebih pagi. Selesai menyeduh kopi masuk ke ruangan redaksi di lantai tiga.
Ruangan itu terbagi tiga, ruangan redaktur lengkap dengan kipas angin yang sering jadi rebutan. Ruangan ini boleh merokok. Di pojok ruangan ada kamar mandi, ada dispenser, gelas, piring, sendok, gula, kopi, teh. Tidak ada batasan berapa kali mau ngopi.
Jika gula atau kopi habis tinggal lapor, toples akan segera diisi. Ini termasuk ruangan favorit dan selalu gaduh dengan umpatan para redaktur yang kesal kepada reporter karena data tidak lengkap, atau soal katabelece lainnya yang sangat elementer.
“Ini berita terlalu berbau nasi bungkus,” begitu redaktur sering menggerutu sembari meneriaki nama reporter dimaksud.
Sesekali keybord jadi sasaran, maka wajar kalau usianya tak panjang. Kekesalan bisa bertambah kalau reporter dimaksud tidak mengangkat telepon atau malah handphonenya sengaja dimatikan.
Selain asap rokok yang membuat sesak pernapasan, ruangan ini full musik. Kadang antar meja adu keras menyetel lagu.
Ada kalanya para redaktur sembari mengedit berita ngerumpi. Mirip emak-emak di kampung bergerombol mencuci pakaian sembari ngerumpi di kali.
Ruangan tengah itu sekretaris redaksi dan staf. Sekaligus sebagai perpustakaan mini. Dilengkapi telepon, mesin fax, lemari tempat penyimpanan kamera, tape recorder, kaset dan perlengkapan lainnya.
Sementara ruangan paling depan sebagai ruangannya redaktur pelaksana yang sekaligus berfungsi sebagai ruangan rapat.
Karena memang cukup lapang sehingga selain meja redpel ada juga meja rapat berbentuk bundar cukup besar, meja tempat televisi. Ruangan ini berpendingin AC model terbaru. Maka tak heran, jika pulang liputan, hari cukup panas, wartawan bebas saja masuk ruangan dan ngadem.
Telepon berdering. Saya tak pedulikan. Saya masih membolak-balik halaman Majalah Tempo yang belum selesai saya baca.
Selain Tempo, kantor juga berlanggaran Kompas. Nasrul Azwar, Koordinator Liputan dan terakhir sebagai Redaktur Pelaksana yang mengusulkan. Bang Replianto, Redaktur Pelaksana (setelah itu sebagai Pemred) tinggal meneruskan ke atas dan dikabulkan.
“Kriiiing kriiing kriiiing kriiiing,” telepon terus berdering.
Saya biarkan saja. Kalau pagi, biasanya ada saja wartawan menelepon meminta izin telat dengan berbagai alasan. Yang paling sering sakit perut, ban motor pecah atau istrinya yang sakit perut. Nanti akan berhenti dengan sendirinya, pikir saya.
Tapi, telepon itu terus berdering. Lama-kelamaan terganggu juga rasanya. Saya terima juga telepon itu.
“Hallo! Ini Metro Bangka Belitung? kata suara di seberang dengan nada marah.
Saya membenarkan. Dan si penelepon suaranya semakin meninggi.
“Bapak tega ya, tega ya bapak,” kata suara di seberang.
Dengan nada datar saya balik bertanya apa maksud perkataanya itu.
“Pak, tidak ada orang diturunin pangkatnya sekaligus dua digit, ini pangkat komandan saya langsung diturunin dua digit,” kata suara diseberang masih dengan nada tinggi.
Saya semakin bingung dibuatnya. Saya mulai berpikiran barangkali si penelepon salah sambung atau kurang waras.
“Komandan saya itu pangkatnya AKBP, masak langsung diturunin ke AKP. Paling tidak Kompol lah,” katanya dengan nada setengah memelas.
Kesabaran saya juga mulai hilang.
“Pak, maksud bapak ini apa? Turun menurun pangkat. Bapak salah sambung. Ini bukan kantor Polda, bukan kantor Kodim, apalagi Mabes Polri. Paham kau!” kata saya mulai galak.
Si penelepon tadi sepertinya mulai menyadari yang dia sampaikan tadi tidak saya pahami.
“Maaf pak, coba bapak baca Koran Metro Babel hari ini, berita tentang Kapolres Pangkalpinang,” katanya datar, lalu telepon dia tutup.
Saya bergegas menuju ruang rapat. Metro Bangka Belitung tergeletak di atas meja. Di halaman satu, berita kaki, Kapolres Pangkalpinang memimpin sertijab sejumlah pejabat polres malam hari.
Dan pada judul serta caption foto tertulis, “AKP….Pimpin Sertijab Malam Hari.”
Astaghfirullah. Saya baru paham. Di judul dan caption foto seharusnya Kapolres Pangkalpinang AKBP menjadi ‘Kapolres Pangkalpinang AKP’. Kurang huruf ‘B’ nya.
Sertijab itu memang malam hari karena Kapolres beralasan sebagai tradisi baru. Dia memang baru saja menjabat. Oleh karena itu dilakukanlah penyegaran untuk beberapa posisi.
Waktu itu memang wartawan yang ngepos di Polres Pangkalpinang Sujoko (kini PNS bertugas di Pengadilan Agama Belitung), menelepon ke kantor ada berita sertijab.
Jadi dia minta ditunggu dan meminta di halaman depan. Saya sampaikan tidak bisa lama dan tidak bisa di halaman depan. Meskipun berita kaki.
Tapi Sujoko yang biasa disapa Joko punya banyak alasan. Selain “semi” advetorial, Joko beralasan untuk menjaga hubungan baik dengan Kapolres baru. Masuk akal juga.
Deatline yang diberikan ke Joko pukul 21.30 Wib. Dia diminta tidak perlu sampai selesai ikut acara. Wawancara di awal, dan yang terpenting foto sertijabnya.
Menjelang waktu yang disepakati berulangkali Joko ditelepon agar tidak terlambat. Dan nyatanya terlambat dengan berbagai alasan pula.
Setelah di kantor Joko butuh waktu mengetiknya. Karena berita ini pun hanya seremonial, mata pun sudah kantuk bercampur jengkel, ketelitian akhirnya mengendor.
Kesalahan dimulai dari reporter, redaktur dan korektor pun tidak melaksanakan tugasnya dengan baik karena keburu mengantuk.
Saya bergegas ke Kantor Polres. Kepada Kapolres meminta maaf. Dia tidak marah, malah disuguhi kopi dan sarapan.
Di luar ruangan beretemu ajudan yang tadi rupanya menelepon. Saya bilang Pak Kapolres tidak marah. Malah selama di ruangan sering bercanda.
“Di depan abang tidak, tapi depan saya lain,” ketus si ajudan.
Ah itu kan bisa-bisanya si ajudan saja, kata saya membatin. Mana tahu kita, melihat pun tidak.
Memang betul kata wartawan senior almarhum Amarzan Loebis. “Tidak ada penulis nomor satu, yang ada penulis nomor dua.” (*)