ALKISAH di perairan Keranggan dan Tembelok, Kecamatan Mentok, Kabupaten Bangka Barat, praktik tambang timah ilegal merajalela. Sampai-sampai sebagian punggawa yang harusnya berjibaku mencegah dan menyetopnya tepergok malah ikut terseret oleh permainan laknat itu.
Sebenarnya kisah Keranggan-Tembelok, tak lebih dari pementasan drama. Banyak pihak ikut bermain peran, setiap pihak punya peran masing-masing. Layaknya elemen teater, komplit. Termasuk peran, mulai dari peran antagonis, protagonis bahkan peran sebagai korban atau memang benar-benar pihak yang harus dikorbankan atau jadi korban yaitu rakyat penambang kelas teri.
Seperti film Gangs of New York dua geng yang saling berperang. Dalam film Holywood lainnya Machete, dimana Seven Seagal yang dalam film lainnya jadi sosok pahlawan, namun kali ini justru sebaliknya, jadi sosok penjahat bengis. Sedangkan Danny Trejo yang biasanya memerankan sosok penjahat bengis, tapi kali ini justru jadi sosok pahlawan.
Atau juga film Blood Diamond dengan pemeran utamanya Leonardo DiCaprio. Dalam film yang disutradarai Edward Zwick ada pula aktor-aktor seperti Djimon Hounsou, Jennifer Connelly, Michael Sheen, Arnold Vesloo dan masih banyak lagi. Peran dalam ketiga film ini sangat lengkap, Anda mirip peran yang mana?.
Mari kita Kembali ke sudut kota kecil Mentok, kota tua, kota Pelabuhan sebagai gerbang utama keluar masuk Pulau Bangka menuju Pulau Sumatera. Di Mentok, Presiden Republik Indonesia, Soekarno dan para pemimpin republic diasingkan. Pusat peleburan timah (Peltim) milik PT Timah, juga di Mentok.
Rakyat penambang kelas teri itu, bukan saja sebagai pihak yang dikorbankan, tapi juga dijadikan sebagai tameng para pemilik modal, para cukong dan kaki tangannya dalam satu tema besar “Atas Nama Rakyat”.
Di lapangan tercium kalau pasir timah ini tak jauh-jauh amat larinya. Memang ada yang menyebutkan mengalir ke luar Pulau Bangka, mungkin ada peleburan timah yang butuh pasokan pasir hitam itu.
Tapi sebagian besar diduga mengalir ke pabrik peleburan yang kini masih eksis manakala yang lainnya jungkir balik bahkan para bos nya masih ditahan Kejaksaan Agung dan menjalani proses peradilan di Pengadilan Tipikor, PN Jakarta Pusat.
Sejumlah sumber menyebutkan, focus para Big Bos, Bos dan kaki tangannya adalah pasir timah, bukan rakyat. Pasir timah ilegal ini “Merdeka” di pasar gelap. Tergantung siapa yang menawar lebih tinggi, kesana larinya barang.
Tapi, bak kartel narkoba Amerika Latin macam di Kolombia atau Meksiko, pemasok barang bisa mengatur suplay barang agar terbagi merata. Antar The Godfather tinggal membicarakannya di meja makan. Tentu saja meja makannya tidak di Keranggan-Tembelok atau Mentok, tapi bisa di Jakarta atau Singapura, bisa juga utusan masing masing bertemu agar terbangun kesepakatan.
Maka, karena masih ada rasa “nasionalisme” biasanya kuota untuk plat “merah” dipasok dulu agar tercukupi atau paling tidak tidak terlalu banyak kurangnya sehingga tidak ribut. Baru kemudian dikebut untuk yang plat “kuning”. Tapi, tetap saja di lapangan plat “kuning” kadang tidak puas, ingin “merajai” apalagi berani membeli dengan harga tinggi. Cipkon atau cipta kondisi pun dimainkan sedemikian rupa. Sayangnya sumber tidak menjelaskan lebih rinci kedua istilah ini dan siapa itu plat “merah” dan siapa itu plat “kuning”.
Maka keributan-keributan kecil itu bukan terjadi secara alamiah, tapi terencana dan terpola. Keributan ini menjadi bagian dari bargaining. Tak heran keributan akan terjadi sepanjang penambangan illegal beroperasi. Buktinya hingga kini, tak ada satu pun tambang illegal yang tuntas penyelesaiannya.
Seperti celoteh Deddy Mizwar dalam film Naga Bonar, “Berunding-berunding, NICA masuk juga.” “Razia-razia terus, tapi penambangan illegal tetap berjalan.” Tengok saja, ada di Keranggan-Tembelok, Teluk Kelabat Dalam Belinyu, Merbuk-Kenari Koba dan Lokasi lainnya baik yang berskala bensar atau massif atau kecil-kecilan.
Perbudakan Modern
Dari penelusuran dan informasi sejumlah sumber, rakyat, para penambang kelas teri itu memang ikut terlibat di Keranggan-Tembelok. Tapi, mereka adalah mata rantai penambangan illegal paling bawah.
Celakanya, mereka lah yang sering dituduh sebagai biang dari kerusakan lingkungan dan seolah-olah menjadi aktor utama yang paling bertanggung jawab.
Padahal, sejatinya, mereka dimanfaatkan, dikorbankan dan menyabung nyawa sendiri tanpa adanya perlindungan terkait keselamatan kerja dari pihak lain yang paling menikmati hasil keringat darah rakyat penambang kelas teri itu.
Rakyat penambang kelas teri itu harus berhadapan dengan risiko kecelakaan kerja yang bisa menyebabkan cacat seumur hidup bahkan kehilangan nyawa. Harus pula berhadapan dengan aparat penegak hukum dan para preman yang memalak.
Setelah timah diangkat dan dicuci, siap masuk meja penimbangan. Para penambang harus menerima kekalahan. Tak punya kekuatan untuk bernegosiasi menentukan harga. Mereka dipaksa harus menerima harga yang sudah ditentukan para cukong.
Di Keranggan-Tembelok, harga pasaran pasir timah adalah mencapai Rp150.000 hingga Rp170.000/kilogram. Berapa yang diterima penambang, rakyat yang menyabung nyawa itu? Hanya berkisar Rp50.000 – Rp60.000/kilogramnya!
Lalu, siapa yang menikmati sisanya Rp100.000 – Rp170.000/kilogram itu? Tentu saja para pemilik modal, para bos dan kaki tangannya. Sehari dari Keranggan-Tembelok dari sedikitnya 300 ponton saja yang beroperasi, 1 ponton bisa menghasilkan 50 kilogram artinya sehari sedikitnya 15 ton pasir timah. Kalikan Rp120.000/kilogram sama dengan Rp1,8 miliar/sehari yang dinikmati Bos, cukong dan kaki tangannya. Seminggu tujuh hari Rp10,8 miliar, sebulan Rp43,2 miliar hasil memeras keringat rakyat, hasil menindas rakyat! Ap aini bukan perbudakan di era modern?
Lalu, bagaimana dengan banyak lokasi penambangan ilegal yang masih berlangsung lainnya. Sebut saja di Merbuk, Koba, Teluk Kelabat Dalam, Belinyu yang sudah berlangsung lebih dari lima tahun. Di Teluk Kelabat Dalam, sudah entah berapa kali rakyat sekitar Lokasi memprotes dengan menggelar berbagai aksi bahkan bentrok di lapangan antara nelayan dengan penambang kerab terjadi.
Sepertinya peran oligarki masih dominan. Para pemilik modal yang berselingkuh, bersekutu dengan banyak pihak secara diam-diam. Padahal tugas mereka adalah menjaga rakyat, menjaga kedaulatan negeri, menjaga kedaulatan energi dan sumber daya alam agar bisa digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat! Bukan malah menjadi pelayan para pemilik modal yang menindas dan menghisap darah rakyat! Kalau ini yang terjadi berarti mereka sudah menjadi pengkhianat atas amanah yang diberikan.
Tengoklah, pemerintah daerah sekedar untuk membayar iuran BPJS bagi sebagian masyarakat Babel saja sudah tidak lagi mampu. Mati di gudang beras!
Relasi kekuasaan dengan modal sejak lama terjalin dalam berbagai tema. Bahkan jika dicalak, sejak pra kemerdekaan sudah terjalin dan berlangsung hingga kini dalam tema besar “Simbiosis Mutualisme”.
Maka tak heran, pengusutan kasus tambang timah illegal hanya berhenti pada aktor lapangan. Tapi, siapa penampung akhir timah ilegal dari Keranggan-Tembelok? Yang diduga ada dua smelter yaitu “P” dan “M” hingga hari ini belum tersentuh. Apalagi diduga kuat kedua smelter itu masih satu bendera dengan induk “M Besar”.
Sudah barang pasti kalau ditanyakan ke Bos dan cukong apakah benar mereka yang diduga ikut bermain? Kalau para penjahat mengaku perbuatannya secara sukarela, maka penuhlah itu penjara. Pasti mereka akan selalu membantah dengan keras kalua punya kaitan dengan aliran timah Keranggan-Tembelok dan dari lokasi lainnya.
Rakyat di negeri itu tengah menanti pengumuman dari punggawa terkait menyetop dan mengusut aliran timah illegal Keranggan-Tembelok. Siapa saja dalang di baliknya. Kepada para pemilik modal, Bos, cukong dan kaki tangannya berhentilah menjadikan rakyat sebagai tameng. Berhentilah memperalat dan memperdayai rakyat. Hentikan segera seluruh drama ini!
Kepada pihak terkait, jangan menunggu korban berjatuhan baru bertindak. Jangan biarkan sampai terjadi istri harus menjadi janda, anak harus menjadi yatim karena sosok suami-ayah itu harus meregang nyawa akibat tertimbun pasir, tertebas baling-baling kipas mesin ponton atau kecelakaan yang mengerikan itu. Sudah berapa banyak pula bocah-bocah malang harus tewas mengenaskan tenggelam di lubang-lubang camui akibat penambangan darat yang jumlahnya ribuan di seantero Pulau Bangka.
Pemerintah pusat dan daerah harus segera mengambil tindakan. Merumuskan dengan tepat, adil dan solutif bagi pertambangan di Bangka Belitung yang diakui atau tidak masih menjadi salah satu sektor andalan. Kalau memang rakyat diberi ruang untuk ikut menambang, maka buatlah tata kelolanya sehingga benar-benar bisa dinikmati secara penuh oleh rakyat.
Sekali lagi! Janganlah jadikan rakyat sebagai bantalan, sebagai pihak yang dikorbankan, ditindas dan harus menyabung nyawa demi sesuap nasi, sedangkan para pemilik modal berpesta pora di atas penderitaan rakyat. Lindungi rakyat! Tugas pihak terkait lah melakukan semua itu dengan segala kewenangan dan perangkat yang dimiliki.
Indonesia sudah 79 tahun merdeka, jangan pula anak negeri menjadi “Londo Ireng” yang menjajah anak negeri, kaum sebangsa sendiri. Rakyat berhak bisa ikut menikmati kemerdekaan itu. Merdeka dalam bekerja, Merdeka dalam menikmati kekayaan alam negeri.
Suatu petang, seorang pria petugas rendahan menutup perbincangan singkat sebelum bergegas ketengah halaman luas itu untuk mengikuti kegiatan rutin sejak tiga pekan terakhir, “Laut Pulau Bangka sudah tidak lagi biru, tapi merata hijau,” seraya berlari kecil menjauh.
Tak jelas apa maksud ucapannya dan tak pula perlu dicari tahu. Memangnya kita ini siapa dan untuk apa dipikirkan? Diam-diam, di sudut yang gelap, sunyi dan dingin, di tengah malam buta, selalu bertanya dalam doa. (*)
Penulis : satyanugraha