Catatan Iwan Piliang
(Jurnalis Senior)
Sahabat, kawan, Saudara sekalian, dua foto daun ditingkah matahari, di kediaman kami di Jimbaran, Bali, sebagai ilustrasi paparan saya tulis pagi ini.
Saya tambahkan capture tulisan Tarli Nugroho, meresensi buku Dipo Alam, Dalam Pusaran Adab Dipimpin dan Memimpin, di mana di dalamnya di saat hendak launching diawali simposium Ikatan Cedekiawan Muslim Indonesia (ICMI) 6 Desember 1990, dua hari sebelum dihadiri Pak Harto, Presiden kala itu, IJIN ACARA belum keluar sehingga BJ Habibie, Wapres, sampai marah ke Kapolda Jatim, baca deh capture tulisan, sampai keluar kalimat, “Tembak saya ke Turin …”
Keadilan ada di ranah rasa, dipastikan hulunya lubuk hati.
Pada awal 2021 saya membaca tingkat kepuasan warga Sumbar, Minang, terhadap pemerintahan Presiden Jokowi terendah, tak tega menarok hasil surveinya di sini.
Awal tahun ini BPS merilis hasil survei tingkat kegembiraan warga (indeks kebahagiaan) setiap propinsi, dan Sumatera Barat juga paling terbawah tak happy. Seakan menjawab hasil tingkat kepuasan tadi.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Masyarakat Minangkabau, di mana juga kampung halaman saya, Bahasa Ibu saya di sana, komunitas egaliter. Saban pagi Lepau (warung) menyediakan Pisang goreng ketan, Kacang ijo ketan, Kopi dan Teh talua. Era kini seduhan mie instan lebih mendominasi, sulit mencari Katupek Sayua.
Di Lepau-Lepau itu warga, Ma-Ota (berceloteh) apa saja dibahas, Ipoleksosbudhankam, makanan hari-hari. Suasana dugaan saya bisa mengalahkan sikon persidangan DPR RI di Senayan. Jadi kalau orang Minang banyak omongnya, pandai mangecek, alam terkembang sudah mengasahnya demikian. Khususnya era lalu.
Gambaran sealinea di atas membuat masyarakat kritis. Dalam konteks proses kreatif, kritis adalah pondasi tahapan proses. Proses urut-urutan peristiwa. Sebelum kreatif mesti kritis. Sejatinya hal positif.
Lantas kenapa nada tak oke, tak nyaman di keminangan itu kini?
Di Sumbar, adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah. Rujukan kepada tigo tungku sajarangan dalam kepemimpinan; penghulu (nini mamak), alim ulama, cerdik pandai. Musrawarah mufakat, baku, dalam keputusan.
Payung paling atasnya Al Quran.
Maka jika ada rasa tekanan terhadap ajaran Al Quran, orang Minang dipastikan tak nyaman, tak oke. Anda boleh setuju atau tidak, tapi dengan tegas saya katakan secara jernih di sikon hari ini orang di Minang, memang dominan tak happy.
Indikasi pembiaraan terhadap penghina Al Quran, indikasi mencuekkan pelaku penghina Islam, tidak diproses hukum, sementara alim ulama, memang hadir di tungku salah satu dari tigo sajarangan dimuliakan itu, lalu tidak dihormati, sulit merayu Minang: kamu happy-happy sajalah
ya, dengan sikon, ikut saja dengan yang lain. Apalagi dibumbui kalimat, “Nanti kamu dapat uang banyak, saya beri jabatan.” Orang Minang benaran pasti marah, karena di matanya uang dan jabatan bukanlah segalanya.
Agaknya karena itu juga saya menengarai di sebuah lembaga pemerintah, dugaan tajam sosok Minang disingkirkan fakta. Paling tidak jangan sampai level bintang duduk. Dianggap kaku, dikatai terlalu lurus. “Menyulitkan” sistem.
Dalam pemahaman umum, dunia diisi memang bukan hanya oleh yang putih. Ada abu-abu, ada hitam. Di masyarakat Minang pun demikian. Namun dalam membangun konteks peradaban Kitab Suci acuan.
Berbangsa dan bernegara pun demikian. Pemilu, Pilpres pun bila saya tak salah kan tujuannya membangun peradaban adilihung berdasar Pancasila. Di Minang sejak lama tak ada masalah dengan perbedaan agama. Warga taat ajarannya, di Al quran tak dibenarkan merendahkan agama lain, mencaci umatnya, bahkan merusak rumah ibadah agama lain saja haram.
Di dalam hukum di NKRI, ada hukum harus ditegakkan adil terhadap penghina SARA.
Kebahagiaan sebuah peradaban tak melulu fisik, harta dan bangunan menjulang. Rasa adil, juga menempati urutan teratas. Menghornati tigo tungku sajarangan, juga mengalirkan rasa bahagia bagi Minang.
Jadi kalau di suatu masa pemerintahan orang Minang tak suka dan tak happy, kalian jangan marah dan kecewa ya.
Sebagai Minang, mana ada di awal Pak Jokowi masuk Jakarta ada persinggungan tegang dengan umat. Bahkan saat Gubernur. Saya sendiri acap mengingatkannya soal Al Mutaffifin, akuratkan timbangan di pasar-pasar, karena kalau itu saja tidak, shalat pun sepanjang hayat tunggang-tunggik, sebagai pemimpin ibadah tak diterima Allah SWT.
Karena itu dulu waktu saat kampanye Pilpres 2014, saya dukung Pak Jokowi Umrah di minggu tenang. Masa di mana kebetulan saya ikut, sikon di rasa beragama tidak terganggu di dalam hukum keadilannya.
Sebagai Minang, Minang real, bukan kelas jauh petang bersubsudi, memang sulit disuruh menjilat memuja-muji suatu tak pas lalu mengacungkan good, good, good. Alam takambangnya memang sudah “melahirkan” demikian.
Maka ketika jumpa TIDAK sengaja penghujung 2017 di Palembang lalu dengan Presiden Jokowi, saya sempat diajaknya bicara empat mata di kamar hotel lebih dua jam. Macam-macam kami bahas, termasuk kondisi Ustad Baasyir di penjara sakit tua kala itu. Secara “ekstrim” sempat saya usulkan diberi grasi saja. Walaupun dalam hati saya sudah paham tak akan terjadi, karena presiden sendiri akan minta pendapat intelijen, hukum, dll. Namun yang menarik malam itu, Pak Jokowi sudah masuk kamar tidur, pintu ditutup saya menuju lift.
“Mas Iwan!”
Pak Jokowi dari balik pintu memanggil saya balik.
Hanya untuk menyampaikan, “Soal Ustad Baasyir saya pertimbangkan dari sisi kemanusiaan.”
Dari sisi kemanusiaan pula saya sejak lama terdepan bela misalnya kasus 17 orang hilang di Papua, verfikasi Pembunuhan David di NTU Sungapura, Advokasi Wilfrida lolos dari hukuman mati, dan beberapa lain, tak melihat latar agama, suku. Tanah kelahiran saya di Minang sana sudah dari jaman jebot mengajari demikian.
Lantas kalau Minang hari ini seperti paparan di atas kalian mau singkirkan atau buang dari NKRI ini?
He he he.
Alam akan memgalirkan keminangan ke kana-mana. Hari ini kami menetap di Bali. Tahun lalau ketika pertama datang saya temui Mpu Jaya Pandita Jaya Prema, saya cari seorang Jero Mangku pernah kami kenal. Sowan ke pemangku agama, adat. Hindu Bali mengenal Trihita Karana, juga ada dalam Al Quran, budaya di mana bumi di pijak di sana langit dijunjung, ada dalam Menyama Braya, Bali. Kenusantaraan kita maha kaya.
Keindonesian kita seakan menjadi miskin, agaknya, dominan di banyak daerah telah terlebih dulu membangkrutkan kebudayaan. Kebudayaan tak boleh bangkrut, agar setiap lubuk hati warga, apapun agamanya pasti terdepan memuliakan keinsanan.
Makanya saya sebagai Minang tetap happy hari-hari, dan mengajak selalu happy, karena lebih 50% modal badan sehat hati riang. Virus Corona takut ke insan berlubuk hati happy. Dan di Minang bila dikatakan mereka tidak happy hanya ihwal satu topik, agaknya, selebihnya mereka orang riang, simak saja Talempong, Tarian, Randai. (*)