Catatan Fakhruddin Halim
Rabu 16 Februari 2022
Selepas Isya saya dan seorang kawan bertamu ke rumah seorang bupati, beberapa tahun lalu. Senyumnya selalu mengembang. Dia pulang berlibur. Sebelum ke salah satu kabupaten yang dia pimpin, dia sengaja menginap barang semalam, dua di Pangkalpinang.
Sepanjang pertemuan yang ditemani secangkir kopi, kue kering ringan dan kerupuk, saya lebih banyak mendengar cerita sang bupati tentang aktivitas pendidikannya di Lemhanas.
Sekali-kali kami terbahak, ada saja kisah lucunya. Sang bupati ini terbilang pandai mengocok perut.
Hal serius pun karena dibawa dengan gaya santai menjadi ringan dan mudah dicerna.
Saya pun bertanya apa yang paling berkesan selama di Lemhanas?
“Ada,” katanya pendek sembari menatap serius saya lekat-lekat.
“Saya dapat giliran presentasi makalah. Hasilnya luar biasa, makalah saya diapresiasi banyak peserta,” katanya.
“Makalah saya tentang bagaimana mengatasi tambang timah ilegal,” sambungya.
Saya semakin penasaran dan minta ia merinci seperti apa caranya atau apa isi makalahnya?
“Intinya saja ya. Cara mengatasi tambang timah ilegal adalah biarkan penambang menambang sampai habis timahnya,” katanya dengan mimik serius.
Mendengar kesimpulan itu, spontan saya terbahak.
“Dengar dulu, waktu saya bawakan makalah ini, saya sampaikan kesimpulannya, satu ruangan itu terbahak seperti kamu,” kata sang Bupati, ikut terbahak.
Kelas pun terbelah antara yang pro dan kontra. Sejumlah pihak tidak setuju dengan makalah tersebut.
Alasannya sangat beragam. Dari soal mejaga lingkungan, ah bermacam-macamlah. Yang kontra ini, kata sang bupati, rata-rata kepala daerah atau pejabat yang di daerahnya jarang ada tambang atau bahkan sama sekali tidak ada aktivitas pertambangan seperti yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
“Mereka tidak merasakan betapa sulitnya menghadapi situasi seperti kita. Ada aturan soal tambang, tapi ini juga menyangkut perut masyarakat. Kita dihadapkan pada situasi aturan tegak seratus persen, masyarakat mau nyari makan dari menambang bagaimana?” katanya.
Beda kultur dan kondisi daerah Babel dengan misalnya Jakarta, Bandung, Semarang, Bogor, Jogja atau daerah padat penduduk lainnya.
Masyarakat daerah itu, bisa punya banyak alternatif untuk sumber pemasukan atau banyak pekerjaan yang bisa dilakukan.
Mulai dari perdagangan, home industri, pekerja pabrik, jasa dan punya banyak pilihan.
“Nah kalau kita? Penduduk sedikit, mau produksi pembeli tak banyak. Mau jual jasa, jasa apa? Wisatawan pun terhitung dengan jari. Paling-paling pertanian perkebunan, dan nelayan. Itupun tergantung harga komoditas dan cuaca bagi nelayan,” ujarnya.
“Dari pada rakyat tidak punya pekerjaan yang memadai, padahal rakyat butuh makan, biaya anak sekolah, biaya kesehatan. Malah kalau dilarang, bisa-bisa setiap hari saya didemo sehingga mengganggu pekerjaan, ya sudah biarkanlah mereka menambang,” sambung sang Bupati.
Menambang, itu seperti pos kilat. Sebab, katanya, pagi menambang, sore duit sudah dikantong.
“Bahkan belum menambang pun sudah bisa dapat duit persekot,” ujarnya.
Situasi sosial jadi kondusif, roda ekonomi bergerak cepat, kriminalitas malah turun.
“Cuma kadang malah angka perceraian yang naik, banyak yang selingkuh,” ucapnya, kembali terbahak.
Selain itu, dari pengalamannya selama memimpin daerah, setiap kali penertiban, ongkosnya terlalu mahal.
Sang Bupati menyebutkan hari ini diterjunkan petugas penertiban, penambang lari, bahkan ada yang tertangkap, alat mereka disita lalu dimusnahkan.
“Itu sudah berapa ongkosnya. Memangnya menerjunkan petugas tidak pakai biaya operasional? Alat-alat yang dimusnahkan itu sudah berapa duit? Kalau tertangkap diproses hukum, dipenjara, anak istri mereka siapa yang kasih makan? Malah buat masalah baru,” ujarnya.
Apalagi, penambangan itu adalah aktivitas hulunya. Sejak zaman Belanda sudah ada penambangan yang disebut ilegal.
“Nyatanya sampai sekarang masih tetap ada. Malah di beberapa daerah tak jarang penertiban makan korban nyawa. Apakah ini tujuan kita bernegara? Aturan kan biatan manusia juga, sering berubah, kecuali aturan Tuhan?”
Jika ada hulunya, pasti ada hilirnya. Nah, kata sang Bupati, hilirnya kemana? “Tidak tersentuh juga.”
Maka harus melihatnya dengan bijak. Tidak bisa hanya dari satu sisi saja. Sisi kemanusiaan jauh lebih penting dikedepankan. Apalagi, kalau mau jujur, ucapnya, siapa yang tidak kecipratan duit tambang?
“Bahkan yang menolak pun, terkadang mereka justru sponsor atau ada dilingkaran tambang atau kecipratan aliran duit hasil dari pertambangan,” paparnya.
Bisa jadi, lanjutnya, terjadinya gejolak akibat pembagian “kue” yang tidak merata. Ada yang rakus, mau makan sendiri.
“Ini yang kadang bikin heboh, terjadi gejolak dan saling serang. Yang ribut biasanya bukan penambangnya, tapi para penyokong itu,” katanya.
Jadi, bukan karena aktivitas penambangannya, tapi lebih kepada ada pihak yang merasa diabaikan.
“Harusnya dirembukkan, jangan ada yang merasa menang dan kalah. Semua harus merasa menang,” katanya.
Ia melanjutkan, lebih baik buatkan komitmen bersama. Jika satu lokasi sudah selesai ditambang, baru diperbaiki.
“Kita tanami pohon, jika sudah ditanam, ada yang menambang lagi, baru aturan ditegakkan. Kita tindak yang bersangkutan,” ujarnya.
Sebaliknya yang pro rata-rata kepala daerah atau pejabat yang di daerahnya banyak aktivitas pertambangan seperti kawasan Timur.
“Mereka bertepuk tangan, spontan berdiri dan berteriak setuju,” katanya terkekeh, saya pun ikut terbahak dan cukup lama kami baru reda.
“Bahkan, lanjutnya setelah tawa mereka reda, beberapa maju menyalami saya. Ini baru solusi kata mereka,” sambungnya.
Ia memaklumi saja mereka yang kontra. Sebab iti hak mereka. Namun, bukan berarti ditempat mereka tidak ada persoalan.
Malah, katanya berargumen, di wilayah kepala daerah atau pihak yang kontra tambang, persoalan yang mereka hadapi justru tidak ada di wilayah daerah penambangan.
“Seperti penertiban pedang kaki lima, penggusurah, sampah dan kemacetan. Mana ada di tempat kita? Apakah kita juga mau bilang pokoknya saya tidak setuju kebijakan mereka itu? Kan tidak bisa juga demikian, sebab situasi sosial mereka beda dengan kita,” kata sang Bupati.
Soal kerusakan lingkungan, dia menyebutkan dari dahulu kala, yang namanya menambang tidak ada yang tidak merusak lingkungan.
Meskipun dengan jargon pertambangan berwawasan lingkungan, ramah lingkungan atau apalah labelnya, tetap saja lingkungan rusak.
“Yang namanya merobohkan pohon, menggali dengan alat sederhana atau menggunakan alat berat, pasti terjungkal itu pohon. Tanah pasti terburai. Sampai Amerika kau belajar pertambangan pasti sama. Emang bisa timah, emas, batu bara, tembaga, minyak, nikel, bauksit di ambil dengan cara ghoib?”
Sama halnya, kata sang Bupati, di daerah yang kontra tambang.
“Mereka bilang bangun pabrik ramah lingkungan, kendaraan bebas macet dan polusi, kepadatan penduduk tanpa persoalan sampah, penertiban kaki lima dan penggusuran sesuai kemanusiaan, apakah benar begitu?” katanya retoris.
“Apakah juga tidak membulkan konflik? Kan tidak juga. Malah lebih rumit,” sambungnya.
Kopi dan kue pun tumpas. Meski sang Bupati masih bersemangat bercerita tentang makalahnya, tapi rasanya tak bijak juga kalau kami berlama-lama.
Dia baru tiba siang tadi, sementara sudah cukup lama meninggalkan anak istri. Kami pun berpamitan pulang.
Dalam hati masuk akal juga makalahnya, meski prakteknya tidak sesederhana itu. Namanya juga makalah, konsep di atas kertas.
Di lapangan lain lagi. Tapi entahlah terlalu banyak persoalan di negeri ini yang tidak terselesaikan. Dan kebenaran pun makin sulit terlihat.
Perut keroncongan. Ah.. saya baru ingat, dari siang belum makan makanan berat. Di warung biasanya, “Sate kambing sepuluh tusuk…” (*)