Sepanjang penambangan laut beroperasi, sepanjang itu pula konflik antara nelayan dan penambang terjadi. Sebab kehadiran aktivitas penambangan tak jarang berada di wilayah tangkap nelayan. Terutama nelayan tradisional.
Contohnya di Teluk Kelabat Dalam. Aktivitas penambangan ilegal terjadi secara masif. Hal ini menyebabkan nelayan merasa terganggu. Apalagi akibat beroperasinya tambang laut tersebut wilayah tangkap nelayan kecil makin sempit bahkan kian terdesak.
Padahal berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2020 menetapkan Teluk Kelabat sebagai kawasan konservasi. Artinya kawasan tersebut zona bebas tambang.
Harus diakui aparat sudah berulangkali menertibkan aktivitas tambang ilegal di Teluk Kelabat Dalam. Artinya aparat pun sudah bekerja keras dengan segala daya upayanya.
Termasuk melakukan berbagai pendekatan persuasif. Tapi para penambang selalu kembali. Mereka seolah tak pernah jera.
Kondisi ini menyebabkan nelayan bereaksi. Sejak Tahun 2014 mereka melakukan perlawanan menolak aktivitas penambangan timah di Teluk Kelabat. Mulai dari menyampaikan aspirasi dan mendesak pihak terkait turun tangan hingga aksi massa.
Mereka seolah adu nyali, adu kuat mempertahankan wilayah tangkap mereka dengan sekuat tenaga meski bukan tanpa resiko.
Gesekan di lapangan pun kerap terjadi. Bahkan terkadang berujung bentrokan antar kedua kubu sehingga memakan korban.
Belakangan seiring dengan naiknya harga timah dunia, harga pasir timah ditingkat penambang ikut terkerek pernah mencapai kisaran Rp200 ribu-an perkilo gramnya.
Akibatnya, aktivitas penambangan di Teluk Kelabat Dalam pun kian marak. Kini diperkirakan 500 ponton isap beraktivitas di sana.
Kondisi ini menyebabkan nelayan merasa semakin terganggu dan terdesak. Hal ini dikhawatirkan bisa memperburuk keadaan. Sebab gesekan bisa saja terus terjadi.
Apalagi jika tidak segera diselesaikan bisa menyebabkan terjadinya konflik horizontal yang meluas jika kedua belah pihak tidak saling menahan diri.
Padahal sedikitnya ada dua belas desa yang dihuni sekitar 10.000 penduduk yang berhubungan langsung dengan Teluk Kelabat Dalam.
Aktivitas ini terjadi secara kasat mata. Dilakukan secara terang-terangan, baik siang dan malam. Selesai di satu titik, maka ponton-ponton itu pun bergerak merangsek ke wilayah tangkap nelayan lainnya yang sejatinya sudah sempit dan makin terdesak.
Selain itu penambangan di Teluk Kelabat Dalam menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan secara sistematis dan masif. Sehingga ekosistem terganggu dan terancam.
Selain itu kita patut bertanya, sudah berapa jumlah pasir timah yang tersedot dan berapa uang yang dihasilkan dari aktivitas ilegal ini? Bukankah itu merugikan negara. Sebab tidak mungkin membayar pajak kepada negara dan retribusi kepada pemerintah daerah.
Andaikan saja satu ponton sehari bisa menghasilkan 30 kilogram saja, maka kalikan saja 500 ponton. Itu artinya sehari sebanyak 15.000 kilogram alias 15 ton pasir timah diangkat.
Jika sebulan saja aktivitas ini berlangsung, tinggal kalikan saja 15 ton kali 30 hari, maka sebulan 450 ton pasir timah dapat dihasilkan.
Jika satu kilogram pasir timah di tingkat penambang dihargai sebesar Rp150.000 per kilogram, berarti sehari uang yang dihasilkan sebesar Rp2,25 miliar.
Apalagi jika dikalikan sebulan dan setahun. Sudah berapa perputaran uang disana. Padahal aktivitas penambangan ilegal berlangsung sudah hitungan tahun. Jika benar dugaan ini, sungguh angka yang fantastis!
Pertanyaan lainnya, kemana saja uang ini mengalir? Siapa saja yang menikmatinya?
Selain itu, kemana aliran timah ilegal tersebut? Siapa penampung akhirnya dan selanjutnya dijual kemana? Jawabannya masih teka-teki.
Dan pertanyaan yang paling mendasar adalah mengapa penyelesaian masalah Teluk Kelabat Dalam begitu sulit?
Jika sampai kondisi ini dibiarkan terus terjadi itu sama artinya kita sedang memelihara “api dalam sekam”. Kapan saja bisa meledak dan menjalar. Jika sudah begini semua pihak akan dirugikan. Lalu, siapa yang akan disalahkan dan bertanggung jawab?
Negara harus hadir! Jangan biarkan gesekan terjadi. Nelayan di kedua belas desa yang berhubungan langsung dengan Teluk Kelabat sejak lama menjerit meminta keadilan.
Negara wajib menyelesaikan persoalan ini dengan cerdas dan tuntas. Negara berkewajiaban menjaga agar keseimbangan alam tetap terjaga dan keadilan dapat dirasakan.
Sekali lagi! Negara harus hadir di Teluk Kelabat Dalam. (*)