MENTERI Dalam Negeri Tito Karnavian meminta para pejabat daerah mengaktifkan komunikasi publik dan jangan bikin rakyat panik.
Pernyataan ini berada di nomor urut dua setelah sinergi stakeholder dari 10 langkah yang harus dilakukan daerah dalam mengendalilan laju inflasi.
Hal ini sampaikan Tito saat rapat dengan Tim Pengendalian Inflasi Daerah yang juga diikuti Tim Pengendalian Inflasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Senin (24/10/2022).
Tito bisa jadi mensinyalir selama ini komunikasi publik para pejabat daerah buruk. Gelagat tidak baik ini bisa memengaruhi kondisi ekonomi satu daerah.
Apalagi jika komunikasi publik para pejabat daerah kurang aktif, buruk atau malah bisa menimbulkan kecemasan dan kepanikan di tengah masyarakat. Sudah barang pasti akan memperburuk keadaan.
Dalam situasi tertentu, kepanikan masyarakat bisa membuat harga barang menjadi naik lantaran banyak yang memburu atau memborong barang-barang tertentu.
Isu-isu liar yang bisa semakin berseliweran akibat kurang aktifnya dan baiknya para pejabat melakukan komunikasi publik. Atau lambat merespon setiap isu yang berkembang membuka peluang bagi para spekulan untuk bermain mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Contohnya ketika terjadi krisis pada tahun 1998. Terjadi aksi borong barang. Diikuti kenaikan harga barang yang tinggi karena aksi penimbunan oleh para spekulan.
Tak hanya itu, karena kepanikan maka terjadi rush money. Rush money merupakan sebuah kejadian dimana masyarakat secara besar-besaran akan menarik uang tunai di bank secara serentak dan dalam skala yang besar.
Hal itu dapat menyebabkan bank kehabisan dana tunai yang mengacaukan sistem perbankan. Rush money merusak sendi-sendi terpenting dalam sistem perbankan Indonesia: kepercayaan masyarakat, solvabilitas, dan profitabilitas bank.
Kerusakan itu pada akhirnya membuat banyak bank bangkrut alias gulung tikar. Nah dalam pengendalian inflasi kepanikan masyarakat tidak boleh terjadi.
Jika masyarakat panik maka justru akan menjadi pemicu berbagai aksi dalam hal ekonomi, sosial dan politik.
Kepanikan juga merusak iklim investasi. Dunia usaha akan lesu darah. Orang menjadi takut untuk berinvestasi lantaran ketidak pastian kebijakan pemerintah. Malah investasi yang sudah berjalan bisa ditarik karena takut kondisi ekonomi, sosial politik akan memburuk.
Kepanikan ini bisa dipicu berbagai sebab. Salah satunya pemimpin itu sendiri. Apalagi arus informasi yang bergerak cepat menyebar.
Pernyataan yang tidak terukur, bersifat spekulatif, atau pernyataan yang emosionl, tidak berdasarkan data akurat, justru dapat menimbullan kontroversial harusnya tidak perlu.
Sebab dapat menimbulkan distorsi, keresahan yang berujung kepanikan. Maka selayaknya pejabat atau pemimpin bicara dengan bahasa akal dan hati. Menyejukkan atau meneduhkan. Dan yang paling penting pernyataan terkait problem yang dihadapi masyarakat adalah solutif. Bukan untuk menunjukkan kegagahan atau power kekuasaan. Bahwa ia berkuasa, ia paling benar. Rakyat harus tunduk pada kekuasaan.
Komunikasi publik bukanlah rumus matematika alias ilmu pasti. Tapi komunikasi publik adalah seni berkomunikasinya penguasa atau pemimpin kepada rakyat.
Presiden, gubernur, bupati walikota adalah pemimpin rakyat. Bukan pemimpin perusahaan atau bukan pula pemimpin laboratorium yang senantiasa bersentuhan dengan benda-benda mati. Tapi berhadapan dengan manusia dengan segala problematika dan kompleksitasnya.
Khalifah Umar Binkhattab tidak pernah takut berhadapan dengan panglima dan pasulan perang yang hebat manapun. Tapi ketika jadi pemimpin sebuah negara, ia akan merasa sangat cemas jika ada satu saja rakyatnya yang kelaparan.
Atau Umar akan gemetaran jika mendengar ada keledai terperosok lantaran ada jalan yang berlubang.
Alkisah Umar “dipergunjingkan” seorang ibu yang sedang merebus batu. Umar dinilai tidak becus mengurus rakyat. Umar tidak marah, tidak benci, tidak dendam.
Ia justru bergegas menuju Baitul Mal (Gudang Logistik), lalu memikul karung gandum. Di pintu keluar ia dicegat penjaga gudang yang meminta agar dia saja memikul karung gandum itu.
Tapi Umar balik menghardiknya, “Apakah kau akan memikul juga dosa Umar di Neraka?” katanya sembari berlalu.
Sesampainya di rumah ibu tadi, gandum yang tadi dipanggul, Umar masak, lalu disajikan dan Umar menyuapi anak-anak ibu tadi. Beginilah cara komunikasi publik penguasa atau pemimpin kepada rakyatnya. Penuh kasih sayang dan solutif.
Jika pemimpin dalam membangun komunikasi publik atau kepada masyarakat secara luas buruk, tidak terukur, penuh ancaman bahkan bisa menimbulkan kecemasan rakyat berarti pemimpin itu tak punya rasa empati dan memang tidak layak menjadi pemimpin bagi rakyat.
Jika sudah demikian masyarakat pun akhirnya bersikap apatis terhadap pejabat atau apapun yang menjadi kebijakan suatu daerah bahkan negara.
Pemimpin pasti tidak lagi didengar rakyat. Lantaran rakyat kehilangan rasa empati atau hormat. Alih-alih mencerahkan, menenteramkan, namun sebaliknya. Selalu menimbulkan kontroversial dan spekulasi. Jelas ini membahayakan kondisi ekonomi, sosial dan politik. Sebagaimana dilukiskan penyair Wiji Thukul dalam puisi “Peringatan” :
Jika rakyat pergi//Ketika penguasa pidato//Kita harus hati-hati//Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi//Dan berbisik-bisik
//Ketika membicarakan masalahnya sendiri//Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat//Dan bila omongan penguasa//Tidak boleh dibantah//Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang//Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan//Dituduh subversif dan mengganggu keamanan//Maka hanya ada satu kata: lawan! (*)