HINGGA kini penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja masih terjadi. Beberapa gugatan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi hampir tak pernah sepi. Parlemen jalanan pun masih terjadi meski tidak semasif ketika masih dibahas di DPR RI.
Kini, tiba-tiba muncul RUU Omnibus Law Kesehatan. Kontan saja, organisasi profesi kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) bereaksi keras.
Dalam penyusunan naskah akademiknya mereka sama sekali tidak dilibatkan. Awalnya draf itu berseliweran “tak bertuan” sehingga tidak bisa dikonfirmasi siapa “pemiliknya”.
Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya entah lewat jalur mana masuk parlemen. Dan tak tangung-tanggung langsung bertengger di daftar prioritas Prolegnas tahun 2023.
Artinya mendesak, segera, secepatnya, paling diprioritaskan untuk dibahas, lalu muaranya RUU Kesehatan Omnibus Law disahkan menjadi UU Republik Indonesia.
Padahal lima organisasi profesi kesehatan menilai tidak ada urgensinya RUU ini dibahas. Alias tidak dibutuhkan karena tidak penting. Tapi justru sebaliknya, jika diteruskan yang paling dirugikan adalah masyarakat. Aspek pelayanan kesehatan masyarakat terancam.
Tidak penting karena UU No 29 Tahun 2024 Tentang Praktek Kedokteran, UU No 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, UU No 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan dan UU No 4 Tahun 2019 Tentang Kebidanan masih sangat layak dipertahankan. Sebab cukup mengcover dan memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan dan masyarakat dalam memeroleh layanan kesehatan.
Pun, jika ada satu dua pasal yang dinilai perlu diganti, tinggal direvisi saja. Bukan justru sebaliknya, dengan RUU Omnibus Law, sembilan UU terkait kesehatan akan dilebur dan sebagian pasal krusial raib, lenyap atau dilenyabkan dengan alasan tidak jelas.
Contohnya saja, dalam UU saat ini izin praktek dokter dikeluarkan kementerian kesehatan disejumlah level (dinas kesehatan) dengan rekomendasi IDI, berlaku selama 5 tahun. Setelah itu dievaluasi apakah memenuhi kriteria atau tidak untuk dilanjutkan.
Nah, di RUU langsung Kemenkes dan tanpa rekomendasi IDI dan izin praktek itu berlaku seumur hidup. Tak peduli apakah si dokter atau tenaga kesehatan itu masih layak berpraktek atau tidak. Andaikan sudah tidak layak, tapi tetap berpraktek, siapa yang dirugikan? Masyarakat!
Contoh lainnya soal tenaga kesehatan asing atau dokter asing di UU sekarang diatur dengan sangat ketat dan yang ahli, jika dibutuhkan, artinya tidak ada ahli dokter dalam negeri. Selain itu ada sejumlah syarat yang sangat ketat.
Sedangkan dalam RUU justru diberi kelonggaran, tenaga asing seleksinya nanti pemerintah yang menentukan, termasuk kompetensi dan etikanya. Padahal sebenarnya itu wewenang profesi yang ada di UU.
Ini baru sebagian kecil saja dari draf RUU Kesehatan. Tujuan utama aturan yang sudah ada adalah untuk melindungi masyarakat dalam mendapatlan layanan kesehatan. Begitu pula tenaga kesehatan juga dilindungi dan menjalanlan tugasnya dengan baik dan benar.
Namun, RUU Kesehatan justru menimbulkan banyak kejanggalan dan menimbulkan kontroversial. Tak jelas ini ide siapa atau siapa dibalik draf RUU Kesehatan masih samar.
DPR harusnya jernih memahami persoalan. Sudah terlalu banyak beban yang menghimpit rakyat. Kondisi ekonomi global yang semakin memburuk mengancam pula ekonomi nasional. Badai PHK di depan mata. Harusnya pemerintah dan DPR fokus saja membenahi dan mengantisipasi badai resesi global yang mengamuk.
Lima organisasi profesi tegas menonak dan mendesak RUU Kesehatan dikeluarkan dari Prolegnas 2023. Jika sakit kita patuh mendengarkan dokter, sekali ini pun patuhlah wahai Anggota DPR dan pejabat. Dengarkan kata hati dokter dan paramedis. (*)