Suarapos.com – Pulau Gelasa atau Pulau Gaspar diperkirakan berada di lembah purba, seberang Tanjung Berikat, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Lembah yang kini menjadi perairan dengan kedalaman belasan hingga puluhan meter ini, menjadi situs belasan kapal karam tua dan wadah mineral plaser dan tanah jarang [rare earth].
Berdasarkan teori Sundaland, Pulau Gelasa merupakan salah satu wilayah tinggi [bukit] di wilayah savana Sundaland yang membentang 1,8 juta kilometer persegi [Teluk Thailand, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Laut Jawa, serta sejumlah wilayah di Laut China Selatan].
Pulau Gelasa yang luasnya 220,83 hektar, dikeliling terumbu karang seluas 125 hektar. Sebagian pantainya menampilkan terumbu karang purba, yang selama ini tersimpan di dalam daratan. Akibat naiknya permukaan air laut, terjadi pengikisan pantai yang memunculkan terumbu karang purba tersebut.
Karang yang diduga jenis acropora atau anacropora, yang selama ini tidak ditemukan di perairan Pulau Bangka dan Pulau Belitung, ditemukan di sini. Jenis ini tersebar di pusat Indo-Pasifik, Asia Tenggara, Kepulauan Solomon, Jepang, Laut Cina Timur dan Samudra Pasifik Barat, serta di Rodrigues dan Kepulauan Andaman.
Perjalanan menuju Pulau Gelasa dari Desa Batu Beriga, Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung, kami lakukan dengan mengarungi Selat Gelasa yang warnanya variasi: hijau, biru, biru muda, biru, biru tua, dan biru muda. Perbedaan warna tersebut membedakan kedalaman lautnya. Dari belasan hingga puluhan meter.
Perjalanan di Selat Gelasa seperti terbang di atas sebuah perbukitan, yang tenggelam ribuan tahun lalu.
Setelah tiga jam mengarungi Selat Gelasa menggunakan kapal nelayan bermesin 26 HP [Horse Power], yang jaraknya sekitar 31 kilometer dari Pulau Bangka [Tanjung Berikat], Pulau Gelasa yang luasnya 220,83 hektar terlihat. Seperti sebuah puncak gunung diapit dua bukit yang muncul dari permukaan laut.
“Dilihat dari keanekaragamnya, kedalaman laut di Selat Gelasa dapat dibayangkan pada masa sebelum es mencair Selat ini merupakan lembah yang terdapat perbukitan granit.
Sementara Pulau Gelasa [utara] merupakan bukit tertinggi seperti halnya Bukit Berikat yang berada di muka Tanjung Berikat [selatan]. Setelah Pulau Gelasa [utara], kedalaman laut hingga 45 meter,” kata Muhammad Rizza Muftiadi, peneliti terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung, saat berada di atas perahu nelayan, Jumat [25/03/2022].
Pulau Gelasa berada di kawasan Laut China Selatan yang masuk wilayah Kepulauan Bangka Belitung, dan berada di muara [barat] Selat Gaspar.
Masyarakat lokal, baik di Bangka Selatan dan di Pulau Belitung, menyebut pulau tersebut dengan nama “Pulau Kelasa”, yang artinya bonggol ditekuk atau punggung binatang. Dari jauh, pulau ini terlihat seperti bonggol yang ditekuk.
Dikutip dari buku “The China Sea Directory” yang diterbitkan Pemerintah Inggris pada 1878, Pulau Gelasa bernama “Gaspar Island” atau Pulau Gaspar. Sekitar satu mil sebelah barat dari Pulau Gaspar terdapat sebuah onggokan batu granit disebut “Glassa Rock”.
Tingginya sekitar 24 kaki [7,3 meter], ditumbuhi sejumlah pohon, serta dikelilingi terumbu karang. Masyarakat lokal menyebut “Glassa Rock” dengan nama Batu Tunggal.
Dituliskan dalam buku tersebut, bukit utama di Pulau Gaspar tingginya mencapai 812 kaki [247,498 meter], yang dapat dilihat dalam cuaca cerah dari jarak 30 mil. Pulau Gaspar dikeliling terumbu karang.
Gaspar diambil dari nama seorang kapten kapal Spanyol, yang melintasi selat antara Pulau Bangka dan Belitung, dalam perjalanan pulang dari Manila [Filipina] menuju Spanyol pada 1724.
Diperkirakan Rizza, pada zaman Pleistocene, Selat Gelasa merupakan lembah yang kemungkinan besar terdapat sungai, hutan, dan savana dengan flora dan faunanya, serta jejak kehidupan manusia di masa lalu.
“Artinya, bukan hanya bangkai kapal dari masa masehi yang berada di dasar perairan ini. Namun, bukti-bukti kehidupan jauh sebelumnya. Tapi, jejak kehidupan tersebut tertimbun belasan hingga puluhan meter oleh pasir hasil pelapukan berbagai perbukitan batuan granit.”
Tetapi, lanjutnya, asumsi tersebut membutuhkan penelitian mendalam seperti melakukan ekskavasi bawah laut [air].
Perairan Pulau Gelasa dikenal karena banyak ditemukan situs kapal tua yang tenggelam atau karam. Salah satunya, sebuah kapal [diduga milik VOC], ditemukan di kedalaman 28-30 meter di Selat Gelasa.
Artefak yang ditemukan dari kapal karam tersebut antara lain tiang kapal, kemudi, meriam, keramik, tulang binatang, botol-botol, batu pemberat kapal, pasak, plat, serta laras senapan. Temuan artefak dari kapal karam tersebut pernah dipamerkan di teras Diorama I Museum Benteng Vredeburg, DI Yogyakarta, pada 24 Januari 2019 lalu.
“Di Selat Gelasa atau di sekitar Pulau Gelasa, terdapat 18 lokasi [situs] kapal karam,” kata Mat Angin [54], seorang nakhoda kapal nelayan. Mat Angin mengaku selama belasan tahun menjadi penyelam [pemburu benda berharga] kapal-kapal tua yang karam di Kepulauan Bangka Belitung.
Berdasarkan penelitian berjudul “Indikasi Lembah Purba Sebagai Wadah Mineral Plaser dan Unsur Tanah Jarang di Perairan Tanjung Berikat dan Sekitarnya, Bangka Tengah, Bangka Belitung” oleh Udaya Kamiludin, Noor Cahyo Dwi Aryanto, Andi Wisnu Pertala, dan Muhammad Zulfikar dari Puslitbang Geologi Kelautan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang dipublikasikan tahun 2018, disebutkan Perairan Tanjung Berikat [Selat Gelasa] merupakan lembah purba. Lembah purba ini sebagai wadah mineral plaser dan mineral ikutan, pembawa unsur tanah jarang [rare earth].
Berdasarkan teori Sundaland, Kepulauan Bangka Belitung yang usianya kisaran 250 juta tahun, merupakan bagian Sundaland yang membentang seluas 1,8 juta kilometer persegi. Wilayahnya dari Teluk Thailand, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Laut Jawa, serta sejumlah wilayah di Laut China Selatan.
Dijelaskan Dhani Irwanto, pakar teknik hidrologi, salah satu pengusung teori Sundaland, kepada Mongabay Indonesia, awal Oktober 2021, di masa lalu Pulau Bangka merupakan dataran tinggi di Sundaland, yang menjadi hulu tiga sungai; sungai yang mengalir ke Kepulauan Natuna, sungai menuju Pulau Madura, dan sungai ke Selat Sunda.
Pada masa naiknya air laut, sekitar 11.600 tahun lalu [akhir masa Dryas Muda], menyebabkan lembah subur Sundaland secara perlahan digenangi air laut.
Diyakini, Sundaland merupakan salah satu wilayah hangat [meskipun suhunya kisaran 5-10 derajat Celcius] di Bumi. Diyakini menjadi ruang hidup berbagai flora dan fauna, termasuk juga manusia.
Pada 2019, tidak jauh dari Selat Gelasa, atau di sebuah lokasi penambangan timah di Desa Nibung, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, ditemukan sejumlah fosil kerangka gajah [Elephas maximus] yang sama dengan gajah sumatera.
Menurut Julien Louys, dari Griffith University, Australia, dalam webinar Paleo Talk Institut Teknologi Bandung [ITB], tahun 2020 lalu, fosil gajah tersebut diperkirakan dari gajah yang hidup kisaran 16.000–25.000 tahun lalu atau sebelum akhir masa Dryas Muda, atau naiknya permukaan air laut.
Terumbu Karang Purba
Tidak ada kapal yang dapat berlabuh di pantai Pulau Gelasa. Semua pantainya dipenuhi terumbu karang, yang mati maupun hidup.
Mencapai daratan Pulau Gelasa dilakukan dengan berenang dan berjalan di atas batu karang. Ratusan bulu babi [Diadema setosum] menempel di karang mati yang terendam air laut.
“Dulunya pantai ini kampung nelayan. Warganya campuran. Ada orang Bone dan Bugis [Sulawesi], juga orang Melayu Bangka. Tahun 1990-an awal, mereka pindah ke sejumlah pulau, seperti Pulau Pongok dan Pulau Semujur,” kata Mat Angin.
Dijelaskan dia, warga kampung nelayan pindah lantaran air laut naik. Ombak mengikis pantai, muncul hamparan batu karang mati yang sebelumnya tertutup pasir.
“Yang menarik, ukuran diameter karang massive atau mati itu satu sampai tiga meter. Secara visual, terlihat karang-karang massive tersebut membentuk celah atau patch-patch yang menjulang ke permukaan air, sehingga batas antar-patch bukanlah pasir, tetapi karang.”
Saya menduga, karang-karang massive itu adalah karang-karang purba. Karena ukurannya yang besar, yang menjelaskan jika umurnya yang sudah lama. Dari karang tersebut, kita akan dapat menjelaskan perubahan-perubahan iklim yang terjadi di Indonesia. Selain itu, jika kita menggali informasi hingga ke dasarnya yang hanya 30-40 meter, kita akan mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang sejarah peradaban Indonesia,” jelas Rizza.
Hamparan karang massive tersebut, juga ditemukan di Pesisir Tanjung Berikat [Kabupaten Bangka Tengah] dan Dusun Tuing [Kabupaten Bangka], dengan ukuran relatif lebih kecil.
“Tapi hal ini butuh penghitungan dating carbon,” lanjutnya.
Sementara naiknya air laut ini, selain berdasarkan keterangan masyarakat di Desa Batu Beriga tentang garis pantai yang saat ini lebih masuk ke daratan [abrasi], baik di Pulau Gelasa maupun Pesisir Tanjung Berikat, sehingga memunculkan karang mati yang sebelumnya tertimbun, juga dari perbandingan data buku “The China Sea Directory”.
Misalnya Glassa Rock yang pada abad ke-19, dituliskan dalam bukut tersebut, tingginya sekitar 24 kaki [7,3 meter] dari permukaan air laut. Saat ini tingginya sekitar tiga meter dari permukaan air laut. Sementara, bukit tertinggi di Pulau Gelasa atau Pulau Gaspar dituliskan setinggi 812 kaki [247,498 meter], yang saat ini tingginya sekitar 200-an meter.
“Kenaikan laut dan ombaknya membuat pesisir mengalami abrasi sehingga memunculkan karang-karang mati purba yang selama ini tertimbun,” kata Rizza.
Karang Acropora?
Dijelaskan Rizza, setelah dirinya dan tim melakukan survei dalam “Ekspedisi Pulau Gelasa”, selama tiga hari [25-27 Maret 2022], pada tiga wilayah perairan [Barat, Timur dan Utara] sekitar Pulau Gelasa, secara umum terumbu karang di Pulau Gelasa yang luasnya 125 hektar, termasuk karang tepi [fringing reef].
Jenis ini tumbuh diperairan dengan kedalaman kurang dari 40 meter. Ditemukan hingga kedalaman 15 meter dengan bentuk massive, tabulate, branching, digitate, mushroom, encrusting, dan soft coral.
Ukurannya bervariasi, mulai dari diameter dua sentimeter hingga dua meter lebih. Sementara predator alami diperairan ini adalah ikan Parrot fish, Acanchaster plancii, dan Diadema setosum.
Karang di Perairan Pulau Gelasa secara umum berkisar antara 54,3-77,3 persen dengan kondisi baik dan sangat baik, jika mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 4 tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang.
Bentuk pertumbuhan yang terdapat di perairan Pulau Gelasa secara umum adalah Acropora branching [ACB], Acropora encrusting [ACE], Coral massive [CM], Coral branching [CB], Coraf foliose [CF], Heliopor, Mushroom, serta Soft coral.
“Yang mengejutkan, secara visual saya mengidentifikasi jenis karang acropora yang selama ini tidak pernah ditemukan di perairan Pulau Bangka lainnya. Karang ini hanya terdata dalam buku identifikasi karang “Coral of the world” Vol. 1, Veron 2000, dan tidak terdata dalam buku identifikasi jenis-jenis karang di Indonesia [Suharsono, 2008],” kata Rizza.
“Karang acropora atau anacropora banyak tersebar di pusat Indo-Pasifik, Kepulauan Solomon, Jepang, Laut China Timur dan Samudra Pasifik Barat, serta di Rodrigues dan Kepulauan Andaman. Di Indonesia, karang ini ditemukan di Kepulauan Seribu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Bali, dan tersebar di Indonesia Timur. Karang ini tumbuh di wilayah dangkal [5-15 meter].”
Dijelaskan Rizza, terdapat perbedaan pada polip axial yang panjangnya hampir sama dengan polip radial-nya. Bentuk ini berbeda dengan identifikasi karang dalam sejumlah buku sebagai panduan. Guna memastikan spesies yang ditemukan di Perairan Pulau Gelasa tersebut, perlu dilakukan tes DNA atau uji molekuler dari karang tersebut, untuk diketahui spesiesnya.
Hasilnya, guna memastikan kekerabatan spesiesnya. Jika terdapat perbedaan, selanjutnya dilakukan identifikasi lain untuk memastikan [apakah] spesies baru.
“Kemungkinan besar ditemukannya spesies baru di Perairan Pulau Gelasa sangatlah besar, karena lingkungannya sangat mendukung untuk terbentuknya spesies-spesies karang yang beradaptasi. Oleh karena itu, penelitian-penelitian mendalam tentang spesies karang di Perairan Pulau Gelasa sangatlah penting, jangan sampai karang itu punah sebelum sempat teridentifikasi,” ujarnya. (*/fh)
Sumber: Mongabay.co.id