Catatan Iwan Piliang
(Content Director)
KEMARIN siang saya sempat bertemu dengan Kang TB Hasanudin, di kantornya di DPR. Ia anggota Komisi l, senior, di DPR, kakak kandung ST Burhanudin, Kajagung.
Di setiap ke Bali ia berusaha mampir ke rumah kami, untuk secangkir kopi, pun kalau saya ke Jakarta ada waktu cocok kami jumpa. Kemarin ngobrol perjalanan akhir tahunnya ke Islandia dan negara Skandinavia. Enjoy menyimaknya, saya merasa napak tilas.
Traveling. Keluarga kami menyebutnya #investasikenangan. Sandra IP belakangan baru menyadari penuh selain investasi kenangan, fisik paling penting diberi asupan makanan terbaik. Jangan dibalik, untuk makan dihemat, demi bangun rumah, demi beli mobil, dan fisik lain.
Perjalanan umur membuktikan mereka dari balita penuh protein dan gizi lain akan sehat. Pemain bola dominan karbo plus sedikit protein, walau skill ball handling hebat, juggling oke, lemah di power.
Selama di Jakarta saat ini banyak saya mendapatkan kalimat kawan membuat saya melongo, juga menjadi teringat negara di Skandinavia.
Kalimat pertama, “Kalau gue sedekat lo dengan Jokowi, uang gue hari ini sudah lima triliun.”
Hah?
Di negara Skandinavia, biar dekat dengan keluarga raja atau perdana menteri, tak akan memberi dampak apa-apa karena sistem bernegara dan birokrasi di negara itu berjalan.
Di negara di mana bernegara dan birokrasi kebalikan, kedekatan dengan pejabat sesuatu. Bukan hanya era kini, sudah dari jaman jebot. Berganti rejim podo.
Di kediaman kami tidak pernah memajang foto dengan pajabat. Baik di Jakarta, apalagi Bali. Maka kini saya acap dikirimi kawan archive foto yang berserak online.
Mungkin sudah seperti jalannya. Orang-orang pahit, ketemu kami. Siang kemarin satu keluarga bertemu dari siang hingga petang, kami mendengarnya takzim, minta diadvokasi.
Syahdan, ia terindikasi tertipu hingga Rp 27 miliar. Sosok mengerjainya, membawa-bawa nama keluarga Presiden. Bahkan diduga mendirikan Yayasan pendukung Jokowi, di mana dugaan saya Pak Jokowi pun tak paham.
Saya menghubungi Pak De Purnomo. Ayahnya beradik kakak dengan ayahanda Pak Jokowi. Sepupu. Usianya lima tahun di bawah saya, orang dominan menyapanya Pak De. Ia dan Bu De ketika G-20 di Bali, menginap di kediaman kami di Jimbaran.
Ia sederhana, pun humble, setahu saya tak pernah “menjual” nama pak Jokowi. Saya tanya apa hubungan keluarga dikenal MW? Ia jawab Paman Pak Jokowi.
“Apa sosok MW ikut dalam proses?”
Hanya ketemu sekali dua di bawa T, kata saya.
T inilah yang terindikasi mengerjai Keluarga kemarin itu. Miris mendengarnya sampai ia ditahan 45 hari di Polda, ibarat sudah jatuh ketiban tangga, lalu diinjak tak bergerak.
Untuk keluar tahanan keluar lagi uang banyak padahal si Ibu tertipu, punya akses investor besar-besar dari luar. Ia kehilangan trust, jauh lebih tinggi dari rupiah sudah raib. Sambil bergetar dan menangis ia menceritakan keadaan. “Kini saya lihat baju coklat hiiiii,” kata Ibu C, tangannya bergetar.
Kami mendukung sosok, sesiapapun itu malah keluar uang. Tujuan utama mengubah bangsa menjadi lebih baik. Ketika 2009-2014 dukungan ke Pak Jokowi full. Jelang Pilpres 2014 malah dua posko kami. Satu terluas, 2000 meter, di Cokroaminoto 100, Menteng, lahan milik Pak Sari, kini jadi resto keren, kami pinjam, selain kleindestein media di rumah di Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Paradigma saya mencari uang, kita hidup karena produk kita masuk pasar. Bukan karena kedekatan dengan pejabat dan sejenis. Atas dasar ini kawan saya dulu baik di HIPMI, KADIN, mengatai saya terlalu idealis.
Bagi kawan yang memandang demikian, sikap saya salah.
Termasuk walaupun fokus ke energi terbarukan, hidrogen motor roda dua, juga ada kawan invevtor mengajak mengembangkan tambak udang vaname dengan teknologi baru, bagi mereka yang memilih jalan pintas untuk kaya mendadak paling oke. Pola kerja saya tak masuk hitungan mereka. Apalagi industri animasi saya rintis sejak 1994 hingga kini, bukan bisnislah bagi mereka.
Bergantung ke proyek pemerintah dan menempel kekuasaan, tepatnya menjilat agaknya, semacam tiket kaya raya jaman now.
Mungkin saya hidup di jaman old.
Pada 2018 Presiden Jokowi membagikan buku Melawat ke Barat, jilid l dan ll ditulis Djamaludin Adinegoro 1926, kami cetak dibagi gratis Presiden Jokowi di Hari Pers, kami biayai, ongkosi naik Garuda agar tiba tepat waktu di Padang.
Sayang buku itu tinggal satu saja di saya seperti di foto. Kalau tidak masih dapat kami bagi kalian.
Maaf tulisan panjang, walau bagi saya pendek saja, karena rerata saya menulis literair di atas 1000 kata. Konon standar penulis biasa di The New Yorker, tulisan minimal 2.000 kata. 3.000 kata ke atas dibaca dari awal sampai akhir tanpa terputus, baru penulisnya dianggap sedikit di atas rata-rata.
Terima kasih sudah membacanya di tengah minat literasi dominan kita drop abis. (*)